Selasa, 24 April 2012

BURUH BERJUANG MENUJU PERUBAHAN

BURUH BERJUANG MENUJU PERUBAHAN

Membentuk Serikat buruh adalah bagian dari hak buruh yang tertuang dalam undang-undang ketenagakerjaan, ketika suara hati para buruh tersumbat oleh sistem manajemen imperialis kapitalis, terkerangkeng dalam kurungan serikat buruh yang semu penuh kemunapikan. Buruh terpuruk mengelus dada, disinilah Serikat Buruh sejati dinanti.

Serikat Buruh yang semu hanya bekerja... untuk keuntungan pribadinya, dengan nama dan lambang organisasi sekedar simbolisasi semata, tanpa implementasi aksi yang pasti, yaitu berjuang atas nama buruh, melawan tirani manajemen kapitalis imperialis penindas.

Ketika Buruh berteriak dengan suara lantang, menyuarakan suara hatinya yang terhimpit beban ketidak adilan, maka serikat buruh yang semu bekerja seperti polisi intel mencari mangsa, setelah itu terdengar buruh-buruh yang suaranya vokal di Pehaka. Dengan form mengundurkan diri tanpa paksaan.

Serikat buruh seperti ini biasanya hanya dipasang sebagai syarat pelengkap, bumbu pemanis dan tameng penutup kebijakan manajemen cerdas yang menindas.

Jika Serikat buruh yang anda ikuti seperti itu tinggalkanlah, Serikat buruh semu hadir hanya sebagai benalu berjaket simbolisasi serikat pekerja, dalam tindakannya bekerja sebagai serikat pengusaha yang menipu, menggiring anda jadi buruh manut dan berlutut, takut, bermental patalistik ( menyerah pasrah dg keadaan buruk tanpa usaha ). Padahal muka bumi ini luas.

Kondisi buruk ini diperparah oleh para buruh penjilat, yang mencari popularitas dan kedudukan, atau sekedar mempertahankan jabatan, atas nama jabatan ia bertindak semena-mena, ia tidak sadar jabatan itu sementara, ia lupa hidup itu sementara.

Ini jadi bahan perenungan kita bersama, yang memiliki jabatan bersikap bijaklah atas jabatannya, yang memiliki kekuasaan bersikap bijaklah pada wilayah kekuasaanya, yang memiliki bawahan bersikap bijaklah terhadap bawahannya.

Yang manakah Serikat buruh sejati itu, tentu Serikat buruh sejati adalah Serikat yang berdiri di pihak buruh, berjuang untuk buruh, menjadikan organisasinya untuk berlabuh segala keluh kesah kaum buruh, dan mengibarkan layar perjuangannya menuju buruh yang merdeka, berpikir merdeka, dan bertindak merdeka. Dia berlayar menuju pulau harapan dan cita-cita.

Wahai kaum buruh tetaplah kobarkan semangat perubahan, kita jangan bangga dengan kedudukan yang telah dicapai, kita jangan bangga dengan kemenangan yg telah diraih, tetaplah berjuang untuk anak-anak kita dan yang utama, untuk Agama.

SISTEM KARYAWAN KONTRAK DAN OUTSOURSING BAGIAN DARI IMPERIALIS KAPITALIS



Sistem Buruh/karyawan kontrak dalam UU ketenagakerjaan negara Indonesia no 13 th 2003 Bab IX pasal 58 dan 59 diberi istilah dengan PKWT yaitu perjanjian kerja waktu tertentu,
dan PKWT dapat dilaksanakan hanya untuk pekerjaan tertentu yang sipatnya sementara, bukan untuk pekerjaan utama yang rutin berjalan seperti bagi...an produksi.

Tapi pada kenyataannya kebijakan pekerja kontrak itu di pabrik-pabrik banyak yang diberlakukan untuk pekerjaan-pekerjaan utama yang sipat pekerjaannya rutinitas dan utama, contoh misal di pabrik textil karyawan kontrak banyak di tempatkan di bagian – bagian produksi seperti texturijing, polimer, kniting ,spining dan lain-lain, padahal bagian- bagian tersebut adalah merupakan pekerjaan rutin setiap hari dan utama bukan pekerjaan musiman atau pekerjaan yang sipatnya sementara mengapa ini terjadi?

Sistem karyawan outsoursing dalam Undang-Undang ketenagakerjaan terdapat pada pasal 64-66 adalah karyawan atau tenaga kerja yang diambil dari yayasan -yayasan penampung para calon tenaga kerja. Di sini bisa kita jelaskan bahwa pungsi dari yayasan-yayasan tersebut tak lebih dari calo perekrutan
para buruh
yang dipesan oleh para pengusaha yang menempatkan keuntungan sebagai motip paling pundamental.

Secara politis dapat dianalisa disahkannya peraturan-peraturan tenaga kerja kontrak dan outsoursing
adalah merupakan kebijakan pemerintah yang pro imperialisme merendahkan kaum buruh, karena menempatkan tenaga kerja atau buruh hanya sebagai alat kerja yang bisa digadai dan gunakan sesuai kebutuhan, jika sudah tidak diperlukan bisa berhentikan begitu saja tanpa perlu memberi pesangon.

Kebijakan ini merupakan salah satu keberhasilan dari para imperialis kapitalis yang didukung kaum komprador RI yang mengeruk keuntungan dari kebijakan ini. Nasib kaum buruh digadai dan dijual melaui sistem tenaga kontrak dan outsoursing.

Keuntungan Sistem tenaga kontrak dan outsoursing bagi imperialis kapitalis:

Bisa menekan budget perusahaan seminimal mungkin karena dengan tenaga kerja kontrak/outsoursing perusahaan tidak perlu menyediakan dana untuk jaminan kesehatan, pesangon dll.

Perusahaan berlepas tangan / lepas tanggung jawab terhadap kesejahteraan buruh, artinya buruh tidak bisa menuntut hak-haknya sebagaimana mestinya.

Sistem outsoursing, Buruh jadi sumber bisnis antara pengusaha dan
para calo yang berlindung dg nama yayasan.

Inilah cikal bakal perbudakan modern.

HAK BERSERIKAT DAN BERORGANISASI BURUH


Bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran baik secara lisan maupun secara tulisan, memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum merupakan hak setiap warga negara;

Bahwa dalam rangka mewujudkan kemerdekaan berserikat, pekerja/buruh berhak membentuk dan mengembangkan serikat pekerja/serikat buruh yang bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab;

Bahwa serikat pekerja/serikat buruh merupakan sarana untuk memperjuangkan, melindungi, dan membela kepentingan dan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya, serta mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan;

Beberapa kalimat diatas adalah merupakan pokok-pokok pikiran atau konsiderans dibuatnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Dengan undang-undang tersebut, maka setiap pekerja/buruh berhak dan bebas untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh dan dapat berafiliasi dengan serikat pekerja/serikat buruh lainnya baik di tingkat nasional maupun internasional. UU ini juga merupakan hasil dari ratifikasi pemerintah terhadap Konvensi Internasional ILO No. 87 pada tahun 1999 mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi. Ya, hak berserikat/berorganisasi buruh dipandang sebagai suatu kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sebagai sarana memperjuangkan terpenuhinya hak-hak buruh/pekerja seperti hak atas upah, hak buruh perempuan atas fungsi reproduksi dan hak atas kesehatan dan keselamatan kerja. Seperti dalam halnya PHK, UU ini sebenarnya juga melarang siapapun melakukan PHK kepada buruh yang sedang menjalankan fungsi serikat buruhnya dalam menuntut perusahaan untuk mematuhi peraturan perburuhan.

Berkaca dari itu semua, sebenarnya kalau melihat pengalaman, ternyata juga buruh harus secara mandiri memperjuangkan hak-haknya, memperoleh kesejahteraan yang layak, dan menempatkan posisi buruh yang sejajar dengan pengusaha. Negara (baca;pemerintah) sebenarnya (mungkin) ingin melindungi kepentingan dan hak-hak buruh tapi tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan keinginan itu ketika berhadapan dengan para pemodal dan pengusaha. Singkatnya, keinginan besar tapi “kemampuan” tidak ada.

Penciptaan keharmonisan dalam lingkungan kerja harus menjadi tanggung jawab pengusaha dan buruh karena merupakan yang mutlak. Ya, istilahnya dinamakan simbiosis mutualisme. Maksudnya adalah pengusaha jelas sangat bergantung pada pekerjanya dalam menjalankan proses produksi maupun proses lainnya yang menjadi tanggung jawab buruh. Dan pada saat yang bersamaan, pengusaha/pemilik modal juga mempunyai kewajiban memberikan upah, kesejahteraan yang layak dan kesehatan serta keselamatan kerja kepada para buruh yang sudah menjadi hak mereka. Akan tetapi, semua langkah itu harus dimulai dengan kesadaran buruh untuk memperjuangkan hak-haknya tanpa melupakan kewajiban. Seperti yang telah diungkapkan di atas, buruh harus menciptakan dan menjadi bagian dari sejarahnya sendiri. Buruh tidak lagi fatalistik yang hanya pasrah seolah telah ditimpakan kepadanya „”takdir” buruk dan sama sekali tidak dapat dicegah maupun dirubah. Buruh harus menjadi humanisme (manusia yang dapat “memanusiakan” dirinya). Bebas dari belenggu “penindasan” yang pada hakekatnya adalah bentuk pengingkaran nyata atas fitrah manusia.

DILEMA BURUH DENGAN PHK DAN HAK-HAK YANG DIPERJUANGKANNYA



image5aNasib? Ya, kata banyak orang sudah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, tapi Tuhan Yang Maha Kuasa pun berfirman “Nasib suatu kaum tidak akan berubah jika kaum itu tidak berusaha merubah nasibnya sendiri“, begitu pula yang terjadi pada buruh. Buruh yang selama ini menjadi kaum yang tertindas dan dikalahkan dalam menuntut hak-hakny...a, harus mempunyai kesadaran bahwa nasibnya ada di tangan mereka sendiri dengan memperjuangkan hak-haknya serta memberdayakan seluruh kemampuan yang ada pada dirinya. Namun, di samping itu nasib buruh juga masih harus bergantung pada negara. Hal ini bukanlah sebuah aib atau keniscayaan yang harus disembunyikan tapi merupakan suatu bentuk fairness (kewajaran) bahkan kewajiban. Mengapa? Karena negara wajib melindungi hak-hak setiap warga negaranya, melakukan pemberdayaan, mendidik, dan mencerdaskan termasuk kepada buruh.

BURUH DAN PHK


Sampai dengan awal Maret 2010, angka PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di Indonesia tercatat mencapai 68.332 orang, sedangkan p1010244karyawan yang dirumahkan mencapai 27.860 orang (Sumber: detikfinance.com). Selain itu, rencana pelaksanaan perdagangan bebas yang dituangkan perjanjian ASEAN-Chine Free Agreement (AC-FTA) turut mejadi kuantitas persoalan khususnya bagi buruh lokal. Senada dengan itu, Muhaimin Iskandar (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI) juga mengungkapkan bahwa terdapat kemungkinan adanya potensi peningkatan PHK sebagai akibat implementasi perjanjian tersebut jika rencana itu benar-benar terlaksana (www.portalhr.com). Kenyataan inilah yang terjadi dan tak dapat dipungkiri sehingga nasib buruh selalu dalam posisi yang tertindas hak-haknya, dihisap tenaga dan pikirannya serta lemahnya bargaining position di hadapan pengusaha dan pemilik modal dan selalu dihantui dengan “makhluk” mengerikan yang berwujud PHK. Sekarang, sebaliknya mari kita coba melihat dengan derasnya investasi asing yang masuk ke Indonesia dewasa ini. Pembangunan di sektor investasi nasional makin merebak sehingga memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja khususnya tenaga kerja Indonesia. Harusnya! Kata-kata jargon “saktinya” ini (tugas kami bagi bangsa ini adalah menciptakan lapangan kerja) kemudian terus-menerus digulirkan oleh pengusaha dan pemodal untuk meneguhkan peran mereka dalam pembangunan dan pendekatan-pendekatan kultural pun semakin diusahakan untuk meneguhkan eksistensi mereka. Namun hal ini bisa dikatakan sangat naif sekali karena mencampuradukkan antara “akibat” dengan “tujuan”. Dosen saya dulu pernah mengatakan, “tak ada pemodal yang menciptakan lapangan kerja. Ia berbisnis mengejar laba dan modal dan itulah motif dan tujuan utamanya“. Ya, lahirnya lapangan pekerjaan bukanlah tujuan, melainkan sebagai akibat di luar tujuan utamanya (unintended consequence). Nah, untuk laba dan akumulasi modal adalah intended conseqeunce-nya (tujuan yang dimaksud).

Memang, berbagai krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tak bisa kita elakkan begitu saja. Krisis ekonomi menyebabkan banyak perusahaan yang terancam bangkrut serta ada yang harus melakukan efisiensi guna memcapai kestabilan produksi perusahaan itu sendiri. Pertanyaannya, apakah PHK menjadi solusi yang tepat? Jika kita melihat secara keseluruhan, sebenarnya tidak semua PHK yang terjadi akibat adanya krisis ekonomi. Sedikit banyaknya PHK, baik yang dilakukan secara sepihak dan sewenang-wenang oleh pihak pengusaha dan pemodal hanya untuk mematahkan perjuangan kaum buruh dalam menuntut hak-haknya (Jurnal Analisa Sosial, edisi Mei 2002). Kondisi itulah yang sebenarnya cukup merugikan bagi kaum buruh baik secara ekonomi maupun job security (mempertahankan pekerjaan), namun bagi para pengusaha dan pemodal hal ini menguntungkan karena bisa sesukanya dengan memecat buruh lamanya dan mengganti dengan buruh baru. Belum lagi adanya kebijakan perusahan yang menerapkan sistem kerja kontrak dan praktek outsourcing. Katanya sih, ada semacam “trend” terkait tadi yakni upaya penciptaan hubungan kerja yang dilakukan agar menjadi fleksibel jika menerapkan praktek-praktek tersebut. Hal ini semakin dilegalisasi oleh Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Bunyinya sebagai berikut : “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja atau buruh yang dibuat secara tertulis”. Berdasarkan pasal inilah, pemerintah (bersama dengan pengusaha) telah mengakui pemberlakuan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang dahulu kala merupakan salah satu bentuk penjajahan koloni asing atas Indonesia di perusahaan-perusahaan perkebunan (pada waktu itu) yang ada di Indonesia. Sekali lagi, semakin jelaslah sistem hubungan kerja seperti ini tentunya merugikan serta mengingkari hak-hak buruh. Jika butuh, kontrak hubungan kerja jalan atau diperpanjang dan jika sebaliknya, perusahaan bisa memutus kontrak itu. Apa akibatnya bagi buruh? Jelas di sini tidak adanya jaminan masa kerja buruh dan lagi-lagi posisi tawar buruh menjadi semakin melemah. Dengan demikian, maka tepatlah asumsi (seperti yang dikatakan oleh dosen saya tadi di atas) yang menyatakan bahwa tidak ada pemodal yang berinvestasi atau berbisnis untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Tujuannya jelas yakni mengejar laba dan akumulasi modal, sedangkan terbukanya lapangan kerja hanya merupakan akibat di luar tujuan utama mereka tadi.

APA ITU CAL (Contract Agency Labour atau Penyedia Jasa Pekerja)




Ditulis oleh : M.Ikhsan Prajarani

CAL (Contrac Agency Labour) yang  dalam bahasa Indonesia dapat disamakan dengan Pekerjaan Waktu Tertentu (PKWT) atau identik juga dengan outsourcing.Banyak istilah yang muncul untuk mendeskripsikan sebuah relasi " Hubungan Kerja" yang tidak pasti.Beberapa istilah kadang saling melengkapi satu sama lainya, yang mengambarkan situasi yang sama tapi sebenarnya berbeda. Dan yang paling rumit adalah terkadang kata-kata yang sama dengan penjelasan yang berbeda.Penggunaan istilah yang benar menjadi sangatlah penting ICEM menggunakan istilah pekerja kontrak atau outsourcing (CAL).Istilah ini mudah dikenali dan sangat familiar untuk mengambarkan situasi kerja yang sama.

Dalam pandangan buruh/pekerja,pemborongan pekerjaan adalah sebuah kondisi ketika sebuah perusahaan memberikan pemborongan pekerjaan kepada perusahaan lainnya.Untuk kasus tertentu, bisa juga kontrak diberikan kepada perseorangan atau pada agen tenaga kerja (perusahaan outsourcing).Penggunaan tenaga kerja outsourcing dilakukan ketika perusahaan membutuhkan tenaga kerja yang direkrut dari sebuah perusahaan penyedia jasa pekerja.Pekerja kontrak/pekerja outsourcing, keduanya bagaikan "Pecahan dari Puzzle" yang berlandaskan sistim kerja yang tidak tetap.

Penggunaan istilah yang benar sangatlah penting,pekerja kontrak dan pekerja outsourcing adalah suatu sistim kerja yang sama,yaitu sitim kerja yang tidak tetap.Sedangkan pekerja standart atau dapat disebut dan diartikan sebagai pekerjaan yang bersifat tetap yang langsung dipekerjakan oleh pemberi kerja dengan jam kerja standart,upah dan tunjangan-tunjangan yang memadai.Dalam beberapa kasus,situasi perburuhan menjadi semakin sulit dan menemui banyak permasalahan,dengan adanya sub-sub kontraktor dan bentuk lainya dari relasi kerja yang tidak tetap (sistim kerja kontrak).

Secara terus menerus,fenomena pekerja kontrak dan outsourcing ini sangat cepat mempengaruhi setiap jenis pekerjaan.Penggunaan tenaga kerja kontrak dan outsourcing ini menyebar luas kesegala sektor.Ketidak pastian kerja dalam sistim hubungan kerja kontrak dan outsourcing menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kampanye serikat buruh diseluruh dunia termasuk Indonesia.Hari demi hari,hubungan kerja tetap  beralih sedikit demi sedikit ke arah hubungan kerja tidak tetap, dan pekerja-pekerja tetap tersebut telah beralih ke sistim kerja kontrak dan outsourcing.

Situasi ini bukan hanya menimpa kategori Industri atau pekerjaan tertentu yang menjadi target sistim kerja kontrak dan outsourcing ini,dunia kerja juga melihat sendiri bagaimana perubahan telah diciptakan,hanya untuk memastikan bahwa kewajiban pengusaha terhadap pekerjanya menjadi tidak terpenuhi.Bermacam cara dan tipu muslihat yang dilakukan pengusaha,hanya untuk merubah status pekerja tetap beralih ke status pekerja kontrak/outsourcing.Dibeberapa kasus ,para perusahaan penyedia jasa pekerja ini adalah anak perusahaan pemberi kerja,pola seperti ini dibentuk hanya untuk menghindari tangung jawab perusahaan kepada pekerjanya.

Hasil akhir dari usaha melakukan sistim kerja outsourcing ini adalah berupa pengalihan resiko kerja kepada para pekerja,dengan pekerjaan sementara atau bersifat tidak tetap dan penuh ketidakpastian.Kondisi para pekerja outsourcing/kontrak ini biasanya tidak sepenuhnya dilindungi oleh hukum perburuhan, ditambah lagi upah yang minim serta jaminan sosial yang tidak memadai.




Referensi : Buku Panduan ICEM tentang PEKERJA KONTRAK DAN OUTSOURCING.
**Penulis adalah pekerja kontrak,dan aktiv dalam gerakan serikat buruh yang melakukan perlwanan terhadap sistim pekerja kontrak/Outsourcing.