Selasa, 24 April 2012

BURUH DAN PHK


Sampai dengan awal Maret 2010, angka PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di Indonesia tercatat mencapai 68.332 orang, sedangkan p1010244karyawan yang dirumahkan mencapai 27.860 orang (Sumber: detikfinance.com). Selain itu, rencana pelaksanaan perdagangan bebas yang dituangkan perjanjian ASEAN-Chine Free Agreement (AC-FTA) turut mejadi kuantitas persoalan khususnya bagi buruh lokal. Senada dengan itu, Muhaimin Iskandar (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI) juga mengungkapkan bahwa terdapat kemungkinan adanya potensi peningkatan PHK sebagai akibat implementasi perjanjian tersebut jika rencana itu benar-benar terlaksana (www.portalhr.com). Kenyataan inilah yang terjadi dan tak dapat dipungkiri sehingga nasib buruh selalu dalam posisi yang tertindas hak-haknya, dihisap tenaga dan pikirannya serta lemahnya bargaining position di hadapan pengusaha dan pemilik modal dan selalu dihantui dengan “makhluk” mengerikan yang berwujud PHK. Sekarang, sebaliknya mari kita coba melihat dengan derasnya investasi asing yang masuk ke Indonesia dewasa ini. Pembangunan di sektor investasi nasional makin merebak sehingga memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja khususnya tenaga kerja Indonesia. Harusnya! Kata-kata jargon “saktinya” ini (tugas kami bagi bangsa ini adalah menciptakan lapangan kerja) kemudian terus-menerus digulirkan oleh pengusaha dan pemodal untuk meneguhkan peran mereka dalam pembangunan dan pendekatan-pendekatan kultural pun semakin diusahakan untuk meneguhkan eksistensi mereka. Namun hal ini bisa dikatakan sangat naif sekali karena mencampuradukkan antara “akibat” dengan “tujuan”. Dosen saya dulu pernah mengatakan, “tak ada pemodal yang menciptakan lapangan kerja. Ia berbisnis mengejar laba dan modal dan itulah motif dan tujuan utamanya“. Ya, lahirnya lapangan pekerjaan bukanlah tujuan, melainkan sebagai akibat di luar tujuan utamanya (unintended consequence). Nah, untuk laba dan akumulasi modal adalah intended conseqeunce-nya (tujuan yang dimaksud).

Memang, berbagai krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tak bisa kita elakkan begitu saja. Krisis ekonomi menyebabkan banyak perusahaan yang terancam bangkrut serta ada yang harus melakukan efisiensi guna memcapai kestabilan produksi perusahaan itu sendiri. Pertanyaannya, apakah PHK menjadi solusi yang tepat? Jika kita melihat secara keseluruhan, sebenarnya tidak semua PHK yang terjadi akibat adanya krisis ekonomi. Sedikit banyaknya PHK, baik yang dilakukan secara sepihak dan sewenang-wenang oleh pihak pengusaha dan pemodal hanya untuk mematahkan perjuangan kaum buruh dalam menuntut hak-haknya (Jurnal Analisa Sosial, edisi Mei 2002). Kondisi itulah yang sebenarnya cukup merugikan bagi kaum buruh baik secara ekonomi maupun job security (mempertahankan pekerjaan), namun bagi para pengusaha dan pemodal hal ini menguntungkan karena bisa sesukanya dengan memecat buruh lamanya dan mengganti dengan buruh baru. Belum lagi adanya kebijakan perusahan yang menerapkan sistem kerja kontrak dan praktek outsourcing. Katanya sih, ada semacam “trend” terkait tadi yakni upaya penciptaan hubungan kerja yang dilakukan agar menjadi fleksibel jika menerapkan praktek-praktek tersebut. Hal ini semakin dilegalisasi oleh Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Bunyinya sebagai berikut : “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja atau buruh yang dibuat secara tertulis”. Berdasarkan pasal inilah, pemerintah (bersama dengan pengusaha) telah mengakui pemberlakuan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang dahulu kala merupakan salah satu bentuk penjajahan koloni asing atas Indonesia di perusahaan-perusahaan perkebunan (pada waktu itu) yang ada di Indonesia. Sekali lagi, semakin jelaslah sistem hubungan kerja seperti ini tentunya merugikan serta mengingkari hak-hak buruh. Jika butuh, kontrak hubungan kerja jalan atau diperpanjang dan jika sebaliknya, perusahaan bisa memutus kontrak itu. Apa akibatnya bagi buruh? Jelas di sini tidak adanya jaminan masa kerja buruh dan lagi-lagi posisi tawar buruh menjadi semakin melemah. Dengan demikian, maka tepatlah asumsi (seperti yang dikatakan oleh dosen saya tadi di atas) yang menyatakan bahwa tidak ada pemodal yang berinvestasi atau berbisnis untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Tujuannya jelas yakni mengejar laba dan akumulasi modal, sedangkan terbukanya lapangan kerja hanya merupakan akibat di luar tujuan utama mereka tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar