Selasa, 24 April 2012

HAK BERSERIKAT DAN BERORGANISASI BURUH


Bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran baik secara lisan maupun secara tulisan, memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum merupakan hak setiap warga negara;

Bahwa dalam rangka mewujudkan kemerdekaan berserikat, pekerja/buruh berhak membentuk dan mengembangkan serikat pekerja/serikat buruh yang bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab;

Bahwa serikat pekerja/serikat buruh merupakan sarana untuk memperjuangkan, melindungi, dan membela kepentingan dan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya, serta mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan;

Beberapa kalimat diatas adalah merupakan pokok-pokok pikiran atau konsiderans dibuatnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Dengan undang-undang tersebut, maka setiap pekerja/buruh berhak dan bebas untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh dan dapat berafiliasi dengan serikat pekerja/serikat buruh lainnya baik di tingkat nasional maupun internasional. UU ini juga merupakan hasil dari ratifikasi pemerintah terhadap Konvensi Internasional ILO No. 87 pada tahun 1999 mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi. Ya, hak berserikat/berorganisasi buruh dipandang sebagai suatu kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sebagai sarana memperjuangkan terpenuhinya hak-hak buruh/pekerja seperti hak atas upah, hak buruh perempuan atas fungsi reproduksi dan hak atas kesehatan dan keselamatan kerja. Seperti dalam halnya PHK, UU ini sebenarnya juga melarang siapapun melakukan PHK kepada buruh yang sedang menjalankan fungsi serikat buruhnya dalam menuntut perusahaan untuk mematuhi peraturan perburuhan.

Berkaca dari itu semua, sebenarnya kalau melihat pengalaman, ternyata juga buruh harus secara mandiri memperjuangkan hak-haknya, memperoleh kesejahteraan yang layak, dan menempatkan posisi buruh yang sejajar dengan pengusaha. Negara (baca;pemerintah) sebenarnya (mungkin) ingin melindungi kepentingan dan hak-hak buruh tapi tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan keinginan itu ketika berhadapan dengan para pemodal dan pengusaha. Singkatnya, keinginan besar tapi “kemampuan” tidak ada.

Penciptaan keharmonisan dalam lingkungan kerja harus menjadi tanggung jawab pengusaha dan buruh karena merupakan yang mutlak. Ya, istilahnya dinamakan simbiosis mutualisme. Maksudnya adalah pengusaha jelas sangat bergantung pada pekerjanya dalam menjalankan proses produksi maupun proses lainnya yang menjadi tanggung jawab buruh. Dan pada saat yang bersamaan, pengusaha/pemilik modal juga mempunyai kewajiban memberikan upah, kesejahteraan yang layak dan kesehatan serta keselamatan kerja kepada para buruh yang sudah menjadi hak mereka. Akan tetapi, semua langkah itu harus dimulai dengan kesadaran buruh untuk memperjuangkan hak-haknya tanpa melupakan kewajiban. Seperti yang telah diungkapkan di atas, buruh harus menciptakan dan menjadi bagian dari sejarahnya sendiri. Buruh tidak lagi fatalistik yang hanya pasrah seolah telah ditimpakan kepadanya „”takdir” buruk dan sama sekali tidak dapat dicegah maupun dirubah. Buruh harus menjadi humanisme (manusia yang dapat “memanusiakan” dirinya). Bebas dari belenggu “penindasan” yang pada hakekatnya adalah bentuk pengingkaran nyata atas fitrah manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar