Selasa, 24 April 2012
SISTEM KARYAWAN KONTRAK DAN OUTSOURSING BAGIAN DARI IMPERIALIS KAPITALIS
Sistem Buruh/karyawan kontrak dalam UU ketenagakerjaan negara Indonesia
no 13 th 2003 Bab IX pasal 58 dan 59 diberi istilah dengan PKWT yaitu
perjanjian kerja waktu tertentu,
dan PKWT dapat dilaksanakan hanya
untuk pekerjaan tertentu yang sipatnya sementara, bukan untuk pekerjaan
utama yang rutin berjalan seperti bagi...an produksi.
Tapi pada kenyataannya kebijakan pekerja kontrak itu di pabrik-pabrik
banyak yang diberlakukan untuk pekerjaan-pekerjaan utama yang sipat
pekerjaannya rutinitas dan utama, contoh misal di pabrik textil
karyawan kontrak banyak di tempatkan di bagian – bagian produksi
seperti texturijing, polimer, kniting ,spining dan lain-lain, padahal
bagian- bagian tersebut adalah merupakan pekerjaan rutin setiap hari
dan utama bukan pekerjaan musiman atau pekerjaan yang sipatnya
sementara mengapa ini terjadi?
Sistem karyawan outsoursing
dalam Undang-Undang ketenagakerjaan terdapat pada pasal 64-66 adalah
karyawan atau tenaga kerja yang diambil dari yayasan -yayasan penampung
para calon tenaga kerja. Di sini bisa kita jelaskan bahwa pungsi dari
yayasan-yayasan tersebut tak lebih dari calo perekrutan
para buruh
yang dipesan oleh para pengusaha yang menempatkan keuntungan sebagai motip paling pundamental.
Secara politis dapat dianalisa disahkannya peraturan-peraturan tenaga kerja kontrak dan outsoursing
adalah merupakan kebijakan pemerintah yang pro imperialisme merendahkan
kaum buruh, karena menempatkan tenaga kerja atau buruh hanya sebagai
alat kerja yang bisa digadai dan gunakan sesuai kebutuhan, jika sudah
tidak diperlukan bisa berhentikan begitu saja tanpa perlu memberi
pesangon.
Kebijakan ini merupakan salah satu keberhasilan dari
para imperialis kapitalis yang didukung kaum komprador RI yang mengeruk
keuntungan dari kebijakan ini. Nasib kaum buruh digadai dan dijual
melaui sistem tenaga kontrak dan outsoursing.
Keuntungan Sistem tenaga kontrak dan outsoursing bagi imperialis kapitalis:
Bisa menekan budget perusahaan seminimal mungkin karena dengan tenaga
kerja kontrak/outsoursing perusahaan tidak perlu menyediakan dana untuk
jaminan kesehatan, pesangon dll.
Perusahaan berlepas tangan /
lepas tanggung jawab terhadap kesejahteraan buruh, artinya buruh tidak
bisa menuntut hak-haknya sebagaimana mestinya.
Sistem outsoursing, Buruh jadi sumber bisnis antara pengusaha dan
para calo yang berlindung dg nama yayasan.
Inilah cikal bakal perbudakan modern.
HAK BERSERIKAT DAN BERORGANISASI BURUH
Bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran baik
secara lisan maupun secara tulisan, memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta mempunyai kedudukan yang
sama dalam hukum merupakan hak setiap warga negara;
Bahwa
dalam rangka mewujudkan kemerdekaan berserikat, pekerja/buruh berhak
membentuk dan mengembangkan serikat pekerja/serikat buruh yang bebas,
terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab;
Bahwa
serikat pekerja/serikat buruh merupakan sarana untuk memperjuangkan,
melindungi, dan membela kepentingan dan kesejahteraan pekerja/buruh
beserta keluarganya, serta mewujudkan hubungan industrial yang
harmonis, dinamis, dan berkeadilan;
Beberapa kalimat diatas
adalah merupakan pokok-pokok pikiran atau konsiderans dibuatnya
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh. Dengan undang-undang tersebut, maka setiap pekerja/buruh berhak
dan bebas untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh dan dapat
berafiliasi dengan serikat pekerja/serikat buruh lainnya baik di
tingkat nasional maupun internasional. UU ini juga merupakan hasil dari
ratifikasi pemerintah terhadap Konvensi Internasional ILO No. 87 pada
tahun 1999 mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
Berorganisasi. Ya, hak berserikat/berorganisasi buruh dipandang sebagai
suatu kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sebagai sarana
memperjuangkan terpenuhinya hak-hak buruh/pekerja seperti hak atas
upah, hak buruh perempuan atas fungsi reproduksi dan hak atas kesehatan
dan keselamatan kerja. Seperti dalam halnya PHK, UU ini sebenarnya juga
melarang siapapun melakukan PHK kepada buruh yang sedang menjalankan
fungsi serikat buruhnya dalam menuntut perusahaan untuk mematuhi
peraturan perburuhan.
Berkaca dari itu semua, sebenarnya kalau
melihat pengalaman, ternyata juga buruh harus secara mandiri
memperjuangkan hak-haknya, memperoleh kesejahteraan yang layak, dan
menempatkan posisi buruh yang sejajar dengan pengusaha. Negara
(baca;pemerintah) sebenarnya (mungkin) ingin melindungi kepentingan dan
hak-hak buruh tapi tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan keinginan
itu ketika berhadapan dengan para pemodal dan pengusaha. Singkatnya,
keinginan besar tapi “kemampuan” tidak ada.
Penciptaan
keharmonisan dalam lingkungan kerja harus menjadi tanggung jawab
pengusaha dan buruh karena merupakan yang mutlak. Ya, istilahnya
dinamakan simbiosis mutualisme. Maksudnya adalah pengusaha jelas sangat
bergantung pada pekerjanya dalam menjalankan proses produksi maupun
proses lainnya yang menjadi tanggung jawab buruh. Dan pada saat yang
bersamaan, pengusaha/pemilik modal juga mempunyai kewajiban memberikan
upah, kesejahteraan yang layak dan kesehatan serta keselamatan kerja
kepada para buruh yang sudah menjadi hak mereka. Akan tetapi, semua
langkah itu harus dimulai dengan kesadaran buruh untuk memperjuangkan
hak-haknya tanpa melupakan kewajiban. Seperti yang telah diungkapkan di
atas, buruh harus menciptakan dan menjadi bagian dari sejarahnya
sendiri. Buruh tidak lagi fatalistik yang hanya pasrah seolah telah
ditimpakan kepadanya „”takdir” buruk dan sama sekali tidak dapat
dicegah maupun dirubah. Buruh harus menjadi humanisme (manusia yang
dapat “memanusiakan” dirinya). Bebas dari belenggu “penindasan” yang
pada hakekatnya adalah bentuk pengingkaran nyata atas fitrah manusia.
DILEMA BURUH DENGAN PHK DAN HAK-HAK YANG DIPERJUANGKANNYA
image5aNasib? Ya, kata banyak orang sudah ditentukan oleh Tuhan Yang
Maha Kuasa, tapi Tuhan Yang Maha Kuasa pun berfirman “Nasib suatu kaum
tidak akan berubah jika kaum itu tidak berusaha merubah nasibnya
sendiri“, begitu pula yang terjadi pada buruh. Buruh yang selama ini
menjadi kaum yang tertindas dan dikalahkan dalam menuntut hak-hakny...a,
harus mempunyai kesadaran bahwa nasibnya ada di tangan mereka sendiri
dengan memperjuangkan hak-haknya serta memberdayakan seluruh kemampuan
yang ada pada dirinya. Namun, di samping itu nasib buruh juga masih
harus bergantung pada negara. Hal ini bukanlah sebuah aib atau
keniscayaan yang harus disembunyikan tapi merupakan suatu bentuk
fairness (kewajaran) bahkan kewajiban. Mengapa? Karena negara wajib
melindungi hak-hak setiap warga negaranya, melakukan pemberdayaan,
mendidik, dan mencerdaskan termasuk kepada buruh.
BURUH DAN PHK
Sampai dengan awal Maret 2010, angka PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di
Indonesia tercatat mencapai 68.332 orang, sedangkan p1010244karyawan
yang dirumahkan mencapai 27.860 orang (Sumber: detikfinance.com).
Selain itu, rencana pelaksanaan perdagangan bebas yang dituangkan
perjanjian ASEAN-Chine Free Agreement (AC-FTA) turut mejadi kuantitas
persoalan khususnya bagi buruh lokal. Senada dengan itu, Muhaimin
Iskandar (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI) juga mengungkapkan
bahwa terdapat kemungkinan adanya potensi peningkatan PHK sebagai
akibat implementasi perjanjian tersebut jika rencana itu benar-benar
terlaksana (www.portalhr.com).
Kenyataan inilah yang terjadi dan tak dapat dipungkiri sehingga nasib
buruh selalu dalam posisi yang tertindas hak-haknya, dihisap tenaga dan
pikirannya serta lemahnya bargaining position di hadapan pengusaha dan
pemilik modal dan selalu dihantui dengan “makhluk” mengerikan yang
berwujud PHK. Sekarang, sebaliknya mari kita coba melihat dengan
derasnya investasi asing yang masuk ke Indonesia dewasa ini.
Pembangunan di sektor investasi nasional makin merebak sehingga
memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja khususnya
tenaga kerja Indonesia. Harusnya! Kata-kata jargon “saktinya” ini
(tugas kami bagi bangsa ini adalah menciptakan lapangan kerja) kemudian
terus-menerus digulirkan oleh pengusaha dan pemodal untuk meneguhkan
peran mereka dalam pembangunan dan pendekatan-pendekatan kultural pun
semakin diusahakan untuk meneguhkan eksistensi mereka. Namun hal ini
bisa dikatakan sangat naif sekali karena mencampuradukkan antara
“akibat” dengan “tujuan”. Dosen saya dulu pernah mengatakan, “tak ada
pemodal yang menciptakan lapangan kerja. Ia berbisnis mengejar laba dan
modal dan itulah motif dan tujuan utamanya“. Ya, lahirnya lapangan
pekerjaan bukanlah tujuan, melainkan sebagai akibat di luar tujuan
utamanya (unintended consequence). Nah, untuk laba dan akumulasi modal
adalah intended conseqeunce-nya (tujuan yang dimaksud).
Memang, berbagai krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tak bisa kita
elakkan begitu saja. Krisis ekonomi menyebabkan banyak perusahaan yang
terancam bangkrut serta ada yang harus melakukan efisiensi guna
memcapai kestabilan produksi perusahaan itu sendiri. Pertanyaannya,
apakah PHK menjadi solusi yang tepat? Jika kita melihat secara
keseluruhan, sebenarnya tidak semua PHK yang terjadi akibat adanya
krisis ekonomi. Sedikit banyaknya PHK, baik yang dilakukan secara
sepihak dan sewenang-wenang oleh pihak pengusaha dan pemodal hanya
untuk mematahkan perjuangan kaum buruh dalam menuntut hak-haknya
(Jurnal Analisa Sosial, edisi Mei 2002). Kondisi itulah yang sebenarnya
cukup merugikan bagi kaum buruh baik secara ekonomi maupun job security
(mempertahankan pekerjaan), namun bagi para pengusaha dan pemodal hal
ini menguntungkan karena bisa sesukanya dengan memecat buruh lamanya
dan mengganti dengan buruh baru. Belum lagi adanya kebijakan perusahan
yang menerapkan sistem kerja kontrak dan praktek outsourcing. Katanya
sih, ada semacam “trend” terkait tadi yakni upaya penciptaan hubungan
kerja yang dilakukan agar menjadi fleksibel jika menerapkan
praktek-praktek tersebut. Hal ini semakin dilegalisasi oleh Pasal 64 UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Bunyinya sebagai berikut :
“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja atau buruh yang dibuat secara tertulis”.
Berdasarkan pasal inilah, pemerintah (bersama dengan pengusaha) telah
mengakui pemberlakuan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang dahulu
kala merupakan salah satu bentuk penjajahan koloni asing atas Indonesia
di perusahaan-perusahaan perkebunan (pada waktu itu) yang ada di
Indonesia. Sekali lagi, semakin jelaslah sistem hubungan kerja seperti
ini tentunya merugikan serta mengingkari hak-hak buruh. Jika butuh,
kontrak hubungan kerja jalan atau diperpanjang dan jika sebaliknya,
perusahaan bisa memutus kontrak itu. Apa akibatnya bagi buruh? Jelas di
sini tidak adanya jaminan masa kerja buruh dan lagi-lagi posisi tawar
buruh menjadi semakin melemah. Dengan demikian, maka tepatlah asumsi
(seperti yang dikatakan oleh dosen saya tadi di atas) yang menyatakan
bahwa tidak ada pemodal yang berinvestasi atau berbisnis untuk
menciptakan lapangan pekerjaan. Tujuannya jelas yakni mengejar laba dan
akumulasi modal, sedangkan terbukanya lapangan kerja hanya merupakan
akibat di luar tujuan utama mereka tadi.
APA ITU CAL (Contract Agency Labour atau Penyedia Jasa Pekerja)
Ditulis oleh : M.Ikhsan Prajarani
CAL (Contrac Agency Labour) yang dalam bahasa Indonesia dapat disamakan dengan Pekerjaan Waktu Tertentu (PKWT) atau identik juga dengan outsourcing.Banyak istilah yang muncul untuk mendeskripsikan sebuah relasi " Hubungan Kerja" yang tidak pasti.Beberapa istilah kadang saling melengkapi satu sama lainya, yang mengambarkan situasi yang sama tapi sebenarnya berbeda. Dan yang paling rumit adalah terkadang kata-kata yang sama dengan penjelasan yang berbeda.Penggunaan istilah yang benar menjadi sangatlah penting ICEM menggunakan istilah pekerja kontrak atau outsourcing (CAL).Istilah ini mudah dikenali dan sangat familiar untuk mengambarkan situasi kerja yang sama.
Dalam pandangan buruh/pekerja,pemborongan pekerjaan adalah sebuah kondisi ketika sebuah perusahaan memberikan pemborongan pekerjaan kepada perusahaan lainnya.Untuk kasus tertentu, bisa juga kontrak diberikan kepada perseorangan atau pada agen tenaga kerja (perusahaan outsourcing).Penggunaan tenaga kerja outsourcing dilakukan ketika perusahaan membutuhkan tenaga kerja yang direkrut dari sebuah perusahaan penyedia jasa pekerja.Pekerja kontrak/pekerja outsourcing, keduanya bagaikan "Pecahan dari Puzzle" yang berlandaskan sistim kerja yang tidak tetap.
Penggunaan istilah yang benar sangatlah penting,pekerja kontrak dan pekerja outsourcing adalah suatu sistim kerja yang sama,yaitu sitim kerja yang tidak tetap.Sedangkan pekerja standart atau dapat disebut dan diartikan sebagai pekerjaan yang bersifat tetap yang langsung dipekerjakan oleh pemberi kerja dengan jam kerja standart,upah dan tunjangan-tunjangan yang memadai.Dalam beberapa kasus,situasi perburuhan menjadi semakin sulit dan menemui banyak permasalahan,dengan adanya sub-sub kontraktor dan bentuk lainya dari relasi kerja yang tidak tetap (sistim kerja kontrak).
Secara terus menerus,fenomena pekerja kontrak dan outsourcing ini sangat cepat mempengaruhi setiap jenis pekerjaan.Penggunaan tenaga kerja kontrak dan outsourcing ini menyebar luas kesegala sektor.Ketidak pastian kerja dalam sistim hubungan kerja kontrak dan outsourcing menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kampanye serikat buruh diseluruh dunia termasuk Indonesia.Hari demi hari,hubungan kerja tetap beralih sedikit demi sedikit ke arah hubungan kerja tidak tetap, dan pekerja-pekerja tetap tersebut telah beralih ke sistim kerja kontrak dan outsourcing.
Situasi ini bukan hanya menimpa kategori Industri atau pekerjaan tertentu yang menjadi target sistim kerja kontrak dan outsourcing ini,dunia kerja juga melihat sendiri bagaimana perubahan telah diciptakan,hanya untuk memastikan bahwa kewajiban pengusaha terhadap pekerjanya menjadi tidak terpenuhi.Bermacam cara dan tipu muslihat yang dilakukan pengusaha,hanya untuk merubah status pekerja tetap beralih ke status pekerja kontrak/outsourcing.Dibeberapa kasus ,para perusahaan penyedia jasa pekerja ini adalah anak perusahaan pemberi kerja,pola seperti ini dibentuk hanya untuk menghindari tangung jawab perusahaan kepada pekerjanya.
Hasil akhir dari usaha melakukan sistim kerja outsourcing ini adalah berupa pengalihan resiko kerja kepada para pekerja,dengan pekerjaan sementara atau bersifat tidak tetap dan penuh ketidakpastian.Kondisi para pekerja outsourcing/kontrak ini biasanya tidak sepenuhnya dilindungi oleh hukum perburuhan, ditambah lagi upah yang minim serta jaminan sosial yang tidak memadai.
Referensi : Buku Panduan ICEM tentang PEKERJA KONTRAK DAN OUTSOURCING.
**Penulis adalah pekerja kontrak,dan aktiv dalam gerakan serikat buruh yang melakukan perlwanan terhadap sistim pekerja kontrak/Outsourcing.
Langganan:
Postingan (Atom)