BURUH DAN PHK
Sampai dengan awal Maret 2010, angka PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di
Indonesia tercatat mencapai 68.332 orang, sedangkan p1010244karyawan
yang dirumahkan mencapai 27.860 orang (Sumber: detikfinance.com).
Selain itu, rencana pelaksanaan perdagangan bebas yang dituangkan
perjanjian ASEAN-Chine Free Agreement (AC-FTA) turut mejadi kuantitas
persoalan khususnya bagi buruh lokal. Senada dengan itu, Muhaimin
Iskandar (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI) juga mengungkapkan
bahwa terdapat kemungkinan adanya potensi peningkatan PHK sebagai
akibat implementasi perjanjian tersebut jika rencana itu benar-benar
terlaksana (www.portalhr.com).
Kenyataan inilah yang terjadi dan tak dapat dipungkiri sehingga nasib
buruh selalu dalam posisi yang tertindas hak-haknya, dihisap tenaga dan
pikirannya serta lemahnya bargaining position di hadapan pengusaha dan
pemilik modal dan selalu dihantui dengan “makhluk” mengerikan yang
berwujud PHK. Sekarang, sebaliknya mari kita coba melihat dengan
derasnya investasi asing yang masuk ke Indonesia dewasa ini.
Pembangunan di sektor investasi nasional makin merebak sehingga
memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja khususnya
tenaga kerja Indonesia. Harusnya! Kata-kata jargon “saktinya” ini
(tugas kami bagi bangsa ini adalah menciptakan lapangan kerja) kemudian
terus-menerus digulirkan oleh pengusaha dan pemodal untuk meneguhkan
peran mereka dalam pembangunan dan pendekatan-pendekatan kultural pun
semakin diusahakan untuk meneguhkan eksistensi mereka. Namun hal ini
bisa dikatakan sangat naif sekali karena mencampuradukkan antara
“akibat” dengan “tujuan”. Dosen saya dulu pernah mengatakan, “tak ada
pemodal yang menciptakan lapangan kerja. Ia berbisnis mengejar laba dan
modal dan itulah motif dan tujuan utamanya“. Ya, lahirnya lapangan
pekerjaan bukanlah tujuan, melainkan sebagai akibat di luar tujuan
utamanya (unintended consequence). Nah, untuk laba dan akumulasi modal
adalah intended conseqeunce-nya (tujuan yang dimaksud).
Memang, berbagai krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tak bisa kita
elakkan begitu saja. Krisis ekonomi menyebabkan banyak perusahaan yang
terancam bangkrut serta ada yang harus melakukan efisiensi guna
memcapai kestabilan produksi perusahaan itu sendiri. Pertanyaannya,
apakah PHK menjadi solusi yang tepat? Jika kita melihat secara
keseluruhan, sebenarnya tidak semua PHK yang terjadi akibat adanya
krisis ekonomi. Sedikit banyaknya PHK, baik yang dilakukan secara
sepihak dan sewenang-wenang oleh pihak pengusaha dan pemodal hanya
untuk mematahkan perjuangan kaum buruh dalam menuntut hak-haknya
(Jurnal Analisa Sosial, edisi Mei 2002). Kondisi itulah yang sebenarnya
cukup merugikan bagi kaum buruh baik secara ekonomi maupun job security
(mempertahankan pekerjaan), namun bagi para pengusaha dan pemodal hal
ini menguntungkan karena bisa sesukanya dengan memecat buruh lamanya
dan mengganti dengan buruh baru. Belum lagi adanya kebijakan perusahan
yang menerapkan sistem kerja kontrak dan praktek outsourcing. Katanya
sih, ada semacam “trend” terkait tadi yakni upaya penciptaan hubungan
kerja yang dilakukan agar menjadi fleksibel jika menerapkan
praktek-praktek tersebut. Hal ini semakin dilegalisasi oleh Pasal 64 UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Bunyinya sebagai berikut :
“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja atau buruh yang dibuat secara tertulis”.
Berdasarkan pasal inilah, pemerintah (bersama dengan pengusaha) telah
mengakui pemberlakuan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang dahulu
kala merupakan salah satu bentuk penjajahan koloni asing atas Indonesia
di perusahaan-perusahaan perkebunan (pada waktu itu) yang ada di
Indonesia. Sekali lagi, semakin jelaslah sistem hubungan kerja seperti
ini tentunya merugikan serta mengingkari hak-hak buruh. Jika butuh,
kontrak hubungan kerja jalan atau diperpanjang dan jika sebaliknya,
perusahaan bisa memutus kontrak itu. Apa akibatnya bagi buruh? Jelas di
sini tidak adanya jaminan masa kerja buruh dan lagi-lagi posisi tawar
buruh menjadi semakin melemah. Dengan demikian, maka tepatlah asumsi
(seperti yang dikatakan oleh dosen saya tadi di atas) yang menyatakan
bahwa tidak ada pemodal yang berinvestasi atau berbisnis untuk
menciptakan lapangan pekerjaan. Tujuannya jelas yakni mengejar laba dan
akumulasi modal, sedangkan terbukanya lapangan kerja hanya merupakan
akibat di luar tujuan utama mereka tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar