HAK BERSERIKAT DAN BERORGANISASI BURUH
Bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran baik
secara lisan maupun secara tulisan, memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta mempunyai kedudukan yang
sama dalam hukum merupakan hak setiap warga negara;
Bahwa
dalam rangka mewujudkan kemerdekaan berserikat, pekerja/buruh berhak
membentuk dan mengembangkan serikat pekerja/serikat buruh yang bebas,
terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab;
Bahwa
serikat pekerja/serikat buruh merupakan sarana untuk memperjuangkan,
melindungi, dan membela kepentingan dan kesejahteraan pekerja/buruh
beserta keluarganya, serta mewujudkan hubungan industrial yang
harmonis, dinamis, dan berkeadilan;
Beberapa kalimat diatas
adalah merupakan pokok-pokok pikiran atau konsiderans dibuatnya
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh. Dengan undang-undang tersebut, maka setiap pekerja/buruh berhak
dan bebas untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh dan dapat
berafiliasi dengan serikat pekerja/serikat buruh lainnya baik di
tingkat nasional maupun internasional. UU ini juga merupakan hasil dari
ratifikasi pemerintah terhadap Konvensi Internasional ILO No. 87 pada
tahun 1999 mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
Berorganisasi. Ya, hak berserikat/berorganisasi buruh dipandang sebagai
suatu kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sebagai sarana
memperjuangkan terpenuhinya hak-hak buruh/pekerja seperti hak atas
upah, hak buruh perempuan atas fungsi reproduksi dan hak atas kesehatan
dan keselamatan kerja. Seperti dalam halnya PHK, UU ini sebenarnya juga
melarang siapapun melakukan PHK kepada buruh yang sedang menjalankan
fungsi serikat buruhnya dalam menuntut perusahaan untuk mematuhi
peraturan perburuhan.
Berkaca dari itu semua, sebenarnya kalau
melihat pengalaman, ternyata juga buruh harus secara mandiri
memperjuangkan hak-haknya, memperoleh kesejahteraan yang layak, dan
menempatkan posisi buruh yang sejajar dengan pengusaha. Negara
(baca;pemerintah) sebenarnya (mungkin) ingin melindungi kepentingan dan
hak-hak buruh tapi tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan keinginan
itu ketika berhadapan dengan para pemodal dan pengusaha. Singkatnya,
keinginan besar tapi “kemampuan” tidak ada.
Penciptaan
keharmonisan dalam lingkungan kerja harus menjadi tanggung jawab
pengusaha dan buruh karena merupakan yang mutlak. Ya, istilahnya
dinamakan simbiosis mutualisme. Maksudnya adalah pengusaha jelas sangat
bergantung pada pekerjanya dalam menjalankan proses produksi maupun
proses lainnya yang menjadi tanggung jawab buruh. Dan pada saat yang
bersamaan, pengusaha/pemilik modal juga mempunyai kewajiban memberikan
upah, kesejahteraan yang layak dan kesehatan serta keselamatan kerja
kepada para buruh yang sudah menjadi hak mereka. Akan tetapi, semua
langkah itu harus dimulai dengan kesadaran buruh untuk memperjuangkan
hak-haknya tanpa melupakan kewajiban. Seperti yang telah diungkapkan di
atas, buruh harus menciptakan dan menjadi bagian dari sejarahnya
sendiri. Buruh tidak lagi fatalistik yang hanya pasrah seolah telah
ditimpakan kepadanya „”takdir” buruk dan sama sekali tidak dapat
dicegah maupun dirubah. Buruh harus menjadi humanisme (manusia yang
dapat “memanusiakan” dirinya). Bebas dari belenggu “penindasan” yang
pada hakekatnya adalah bentuk pengingkaran nyata atas fitrah manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar